A Spring Day for Kirana

A Spring Day for Kirana : First Meeting (III)

……

you’re improved a lot rana. Keep your work! Jangan lupa dinamika crescendonya ya, kau terlalu terbawa semangat kadang. But it’s okay. Bermain memang perlu feel ran..”

Aku mengangguk dan tersenyum lebar mendengarkan pujian dari dari Lee ssaem, tutor celloku. Rasanya aku semakin percaya diri dalam bermain cello.

“Rana aku berharap kamu terus improve kemampuan kamu dan ikut audisi pemain cello untuk Busan Orchestra Festival nanti, aku cukup percaya diri kamu bisa masuk dalam tim BOF nanti”

“Semoga ssaem, aku akan berusaha dan..”

“drrrr.drrrr.drrrrrr..” aku terkejut dengan getaran hpku.

“ah ssaem, ini dari ayah..”

“ahh it’s okay angkat saja, sampaikan salamku ya..” Untung ssaem paham betul ayahku, jadi ia sudah memahamiku kalau ada telp dari ayah.

“ne appa..?”

“Sudah selesai lesnya?”

“ne, aku baru selesai lesnya. waeyo appa??”

“Aku sedang syuting di Sohyang Teather, apa kau bisa kesini..?”

Aku hanya tertegun mendengarkan apa yang Ayah katakan, dia tidak biasanya menyuruhku menghampirinya seperti ini dan itu sedikit mencurigakan, tapi membuatku senang disisi lain

“ah aku punya sesuatu untukmu dari Thailand, tapi aku tidak bisa kembali ke rumah malam ini karena akan langsung ke Seoul untuk syuting lagi..” mungkin karena aku tidak merespon kalimat yang tadi Ayah buru-buru menjelaskan

“ohh, ne appa, aku akan kesana. Apa kau sudah makan? Apa ada yang ingin kau..” terdengar seseorang memanggil Ayah..

“kau kesini saja ya tanya saja yang lagi syuting. Sudah ya…bip..bip..bip”

Aku menghelas nafas, ahh sudah biasa, apalagi ketika dia sedang syuting. Akan ada banyak staff yang bolak balik bertanya hal ini dan itu kepadanya.

Aku bergegas mengambil cello case ku dan menggendongnya kepunggungku. Aku berbicara sebentar dengan Lee Ssaem lalu pamit menuju halte bus. Karena jarak yang cukup jauh aku memutuskan untuk menitip sepedaku di tempat kursus saja.

…..

“Anyyeong haseyo, apa kau tau tempat orang syuting disini”

“nuguseyyo?” Seorang security menghampiriku saat aku sedang bertanya kepada resepsionis.

“saya Kirana pak, anaknya sutra…”

“ohh, ne ne, kau rupanya. seorang staff tadi menghampiriku untuk menghantarmu apabila sudah sampai”

“ne ahjussi, kamsahamnida”

Ahjussi itupun menghantarkanku ke sebuah taman di samping gdeung Shongyang Teater, tampak mobil-mobil van dan peralatan syuting ada dimana-mana. Jalan menuju tamannya memang sepi, tapi mendekati tamannya keramaian mulai terlihat. Para staff berlalu lalang dengan peralatan dan walkie talkienya, sementara para staff make up sibuk berlalu lalang dengan kuasnya.

Dari jauh aku tampak melihat Ayah dikerumuni  banyak orang yang mungkin adalah artis dan staff, aku lalu berterima kasih kepada ahjussi security, aku merasa tidak perlu diantar lagi karena sudah melihat ayah.

Karena ayah yang sepertinya sedang serius berdiskusi aku memutuskan untuk berkeliling sebentar. Sepertinya film yang sedang ayah tangani adalah drama kolosal. Propertinya terdiri dari pedang, tombak dan anak panah bahkan ada beberapa ekor kuda. Bajunya juga sepertinya baju pengawal, entah pengawal atau baju pangeran tapi sepertinya baju kerajaan.

Aku berjalan menuju sebuah pohon besar di taman itu untuk istirahat sebentar, lagian aku belum makan bekalku tadi, pikirku. Belum juga duduk, aku dikagetkan dengan suara batuk dari balik pohon itu. Pelan-pelan aku mengintipnya dan kaget melihat seorang lelaki menggunakan baju kerajaan dan rambut extension yang panjang sedang duduk, memejamkan mata ditemani dua orang yang sepertinya adalah manajer dan asistennya.

Lelaki itu sangat manis, hidungnya begitu mancung, jawlinenya begitu tegas, bahunya lebar dan kakinya panjang.

“mmul juseyo” ia membuka matanya dan mengulurkan tangannya pada manajernya.

Hatiku bergetar mendengar suaranya yang begitu dalam.

Matanya tidak terlalu sipit. Kulitnya tidak begitu putih, tapi ia memiliki wajah yang bersinar, bibirnya tipis dan ia memiliki tahi lalat di bibirnya.

“woaa, tampan..” bisikku. Aku sudah sering melihat lelaki tampan di sekolah, bahkan di Busan tapi rasanya biasa saja, namun kali ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang wajah dan suaranya mampu menggetarkan hatiku, membuat waktu rasanya berhenti dan angin sepertinya bertiup hanya ke arahku saja.

Namun sayangnya bisikanku dapat di dengar olehnya, tiba-tiba tanpa bisa ditebak dy menoleh ke arahku. Melihatku dengan terkejut.

Dengan kecepatan angin aku segera bersembunyi dibelakang pohon

Tapi… “ptokk..!”

Cello case ku terbentur pohon, sial!

“Nugu.?”

Ahh lagi-lagi suaranya, hampir saja jadi lemas tak berdaya. Tapi karena panik, aku kabur berusaha lari secepatnya, namun cello case pinkku membuatku mustahil tidak terlihat.

“YA…?!!!!”

Terdengar suara  memanggilku dari belakang tapi aku sudah tidak peduli lagi, aku terlalu panik dan terus berlari menjauh dari pohon itu. Tanpa menoleh ke belakang lagi, aku terus berlari mencari tempat persembunyian.

Hari yang melelahkan dan begitulah pertama kali aku melihatnya..

A Spring Day for Kirana

A Spring Day for Kirana : Almost! (II)

……

Bel berbunyi, tanda sekolah telah usai.

Semua anak riuh riang bersiap keluar kelas. Aku juga bersiap merapihkan seluruh bukuku ke dalam tas, lalu terdengar suara dua anak perempuan menghampiriku

“heiii, buru-buru sekali. Mau kemana kamu?..” Suara itu ternyata dari Anjani, salah satu teman dekatku di sekolah yang berasal dari India.

“tau, main yuk. Aku ingin makan ice cream di resto yang baru buka itu. Katanya lagi ada promo loh..” sahut Yeon-ah.

“kalian lupa ya hari ini hari Selasa..?” jawabku tersenyum

“Ah benar Jani, ini waktunya dia les cello. Aigooo anak ini, bolos saja sekali, ayahmu juga tidak akan mengetahuinya..”

Aku hanya tersenyum dan memeluk mereka sebelum pamit untuk pulang duluan.

Sudah lama sejak pertama kali aku mulai belajar bermain cello ketika dulu sering mengikuti mendiang ibu mengajar musik di sekolahnya. Kebetulan ibu dulu adalah guru musik di sebuah institut musik dan seni di Jogja. Aku mulai serius menekuni bermain cello dan mengikuti les hingga masuk SMP, tapi terhenti ketika ibu jatuh sakit.

Semenjak aku dan Ayah jarang berbicara, aku merasa sedikit kesepian dan kesulitan dalam mengeskpresikan perasaan, aku lalu meminta Ayah agar aku diizinkan untuk mengikuti les cello lagi di sebuah sekolah musik dekat rumah.

….

“brak..!’’

“Kirana??”

“Neee..”

“Kenapa dibanting pintunya? Nanti rusak loh..”

“I’m sorry bii.. Aku harus ke tempat kursus.. Apa kau lihat baju stripe hitamku bibi?” Teriakku dari dalam kamar

“sudah kulipat di dalam lemarimu”

“Neee, araseoyyo. Udah dapet!” 10 menit bersiap aku lalu siap-siap untuk pergi, Ahjumma Nana sudah menunggu di depan pintu rumah dan menyodorkan tempat makan dan minum.

“jangan lupa di makan yaaa, jangan sampe telat makan lagi. Kau ingat kan bagaimana reaksi Ayahmu ketika tahu kau sakit? Kau tidak akan membuatnya dan seluruh krunya meninggalkan lokasi syuting lagi kan..”

“siapp..” Aku lalu buru-buru mengambil sepedaku dan melesat menuju sekolah musik.

…..

Cuaca siang ini sangat Indah dan cerah, karena ini bulan April dan musim semi, cherry blossom di sepanjang jalan sangat indah. Musim semi memang merupakan musim favoritku, musim yang membawa warna disetiap sudut kota Busan, mencerahkan hati dan menyegarkan mata. Dengan senyum yang lebar aku terus mengayuh sepedaku.

Saat ingin berbelok, tiba-tiba ada mobil sedan hitam melesat dengan kecepatan tinggi menikung disamping kiriku, “TEEETTTTT..!!” tanpa aba-aba dy memberikan klakson yang sangat panjang dan keras kepadaku, padahal posisiku sudah benar, mobil itu saja yang mengambil jarak yang begitu besar.

Aku tersentak dan melakukan rem mendadak, hampir saja terjatuh

“YA BANGSAAT..”

Ups. Aku keceplosan. Mobilnya berhenti sesaat setelah ku teriaki, tapi lalu melanjutkan perjalanannya lagi. Aku cukup takut ketika mobilnya berhenti, ku pikir aku akan dihampiri karena sudah berkata kasar, huff. Tapi aku kan tidak salah, kenapa mesti takut?!! Ketusku kesal.

Setelah berupaya keras untuk menenangkan diri, aku melanjutkan perjalanan ke sekolah musik.

“Hampir saja…” bisikku.

……

A Spring Day for Kirana

A Spring Day for Kirana ; Prologue (I)

PROLOGUE

Namaku Kirana Maisha Kim. Gadis 16 Tahun blasteran Indonesia – Korea yang baru 3 tahun pindah ke Busan. Aku merupakan salah satu siswi SMA kelas 3 di sekolah Internasional di Busan.

Ayahku seorang sutradara film yang cukup terkenal di Korea.

Ayah dan Ibu bercerai saat aku duduk dibangku SD. Awalnya  aku tinggal bersama Ibuku di Yogyakarta, tapi 5 Tahun lalu Ibu dipanggil oleh Maha kuasa karena sakitnya.

Aku sempat tinggal bersama nenekku namun karena kondisi ekonomi nenek yang sulit, aku dijemput Ayah untuk tinggal bersamanya di Busan.

Meski kini aku tinggal bersama Ayahku sendiri, hubunganku dengannya masih kaku  layaknya hubungan orang yang baru kenal. 7 Tahun tidak bertemu dan tidak berkomunikasi membuatku hampir lupa rasanya punya Ayah dan sulit menjadi terbuka dengannya. Meski aku tau dy sangat menyayangiku.

Menjadi sutradara yang kini sedang “naik daun” juga bukan perkara yang mudah bagi hubunganku dengan Ayah. Ia menjadi sangat sibuk dan kami menjadi jarang bertemu dan berbicara. Meski demikian aku bersyukur ada Ahjumma Nana di rumah yang bisa ku ajak bicara dan mengajariku bahasa korea serta mengenalkanku budaya di Busan.

Satu hal yang membuatku mampu memaklumi keadaanku bersama Ayah adalah ia cukup terbuka memperkenalkan aku sebagai anaknya kepada koleganya, dan dia tidak segan meninggalkan pekerjaannya begitu tau aku sakit. Ku pikir ini hanya masalah waktu hingga aku bisa menjadi dekat dengannya kembali seperti saat masih kecil.

Bersambung.

—————————–