Maret

Analisa Teori Hubungan Internasional pada Sengketa Pulau Dokdo: Antara sumber Identitas dan Sumber Daya Alam

(Ini sepertinya makalah semester 3 dibuat di 2013, jadi beberapa data mungkin sudah out of date)

Masalah perebutan atau klaim suatu kepulauan oleh beberapa negara memang menjadi masalah yang rumit. Klaim suatu negara terhadap suatu wilayah negara lain sering kali menimbulkan konflik yang berujung pada memburuknya hubungan antara negara yang sama-sama memiliki klaim atas wilayah yang sama. Seperti yang dialami oleh Jepang dan Korea Selatan atas klaim kepulauan Dokdo atau Takeshima. Status Pulau Dokdo atau  Takeshima (di Jepang) yang dipersengketakan kedua negara antara lain status kedaulatannya, di mana kedua negara mengklaim berdasarkan konektivitas secara geografis dan sejarah atas kepemilikan pulau tersebut. Kedua negara mengklaim telah memiliki Kepulauan tersebut sejak ratusan tahun yang lalu berdasarkan data-data dan dokumen sejarah masing-masing. Hubungan antara Jepang dengan Korea sendiri telah mengalami pasang surut semenjak Jepang menjajah Korea (1910-1945). Jepang sendiri menduduki pulau tak berpenghuni itu sebagai awal pencaplokannya atas Korea.[1]

Dokdo adalah pulau yang terletak kira-kira di pertengahan antara Semenanjung Korea dan kepulauan Jepang (pada 37 ° 14 26,8  ˝ N dan 131 ° 52  10,4  ˝ E). Sebenarnya, Dokdo bukan satu pulau tapi merupakan gugusan pulau. Dokdo terdiri dari dua pulau utama, Dongdo (Pulau Timur) and Seodo (Pulau  Barat), yang sekitar 89 batu-batu yang lebih kecil tersebar. Kawasan Dongdo adalah 73297m ², dan Seodo memiliki luas 88639m². Total luas kawasan Dokdo adalah 187.453 m². Pulau Dokdo sebenarnya telah diklaim oleh tiga negara: Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang. Namun, konflik utama di pulau sengketa antara Korea Selatan dan Jepang. Korea Utara sendiri dilaporkan mendukung klaim Korea Selatan terhadap pulau Dokdo.[3]

Dari sisi korea Selatan mengklaim bahwa Pulau Dokdo berada di bawah kedaulatannya berdasarkan pada acuan historis yang dikutip dalam beberapa dokumentasi pemerintah  Korea Selatan, yang menyatakan bahwa Dokdo pada awalnya merupakan suatu independent island yang dinamakan Ussankuk dan telah bersatu dengan Korea Selatan pada masa Dinasti Shilla pada tahun 512 SM. Data tersebut juga diperkuat dengan berbagai  dokumen kuno dan peta seperti “sejongsillokjirjii” (1432), “Donggukyeojiseungram” (1481), “Sinjeungsillokjirjii” (1531), “Gunjeong of Mangiyoram” (1808). Hal ini juga diperkuat dengan pengakuan Perancis dimana terdapat dokumentasi ekspedisi yang dilakukan oleh negara Perancis di bawah komando F.G. Jean (1737) yang menyatakan bahwa Dokdo berada di wilayah Semenanjung Korea di bawah teritorial Korea Selatan. Untuk itu  Korea Selatan mengklaim bahwa pengakuan kedaulatan Dokdo dilakukan lebih awal dibandingkan dengan pengakuan Jepang atas Takeshima.[4]

Sementara dari pihak Jepang mengklaim kepulauan Dokdo telah dimasukkan ke dalam kedaulatannya melalui prefektur shimane pada tanggal 22 februari 1905 dalam keputusan dewan prefektur Shimane No 40 dan menamakan pulau Dokdo sebagai Takeshima.[5] Dalih lain yang diberikan Jepang atas kepemilikan pulau Dokdo berupa bukti akan perjanjian pendudukan Jepang atas Korea. Pada saat penandatanganan perjanjian pendudukan Jepang atas Korea, secara otomatis wilayah Korea merupakan bagian dari wilayah jajahan Jepang. Bahkan warga Jepang telah mulai menduduki pulau Takeshima, melakukan pemanfaatan kayu, perburuan singa laut dari abad 16. Sehingga secara historis, wilayah Takeshima merupakan wilayah kedaulatan Jepang.

Jika gugusan pulau dokdo hanya berupa pulau karang, batu, dan tidak berpenghuni, lalu mengapa kedua negara tersebut bersikeras untuk mempertahankan pulau Dokdo tersebut? Tentu saja bukan tanpa alasan pulau Dokdo menjadi sumber ketegangan antara Korea Selatan dan Jepang, Pulau Dokdo memiliki ekosistem yang unik. Memproduksi sejumlah kecil ikan air tawar, para permukaan gunung berapi, sebagian ditutupi dengan tanah dan tipis lumut, menjadi habitat tentang 70-80 jenis tanaman, 22 jenis burung, dan 37 jenis serangga. Pulau sekitarnya juga merupakan tempat komunitas berbagai macam organisme laut, termasuk anjing laut dan sebanyak 100 jenis ikan.[2]

Kepulauan Dokdo kaya akan Biota laut yang dapat menjadi sumber daya alam yang melimpah bagi kedua negara. Seperti yang kita ketahui Korea Selatan dan Jepang merupakan negara yang tidak begitu kaya akan sumber daya alam, sehingga dapat ditarik analisa bahwa terdapat kepentingan kedua negara untuk mempertahankan pulau Dokdo ini untuk menjadi ranah penghasilan tambahannya. Selain itu, Berdasarkan data kementrian pariwisata Korea Selatan menunjukan setiap tahun arus wisata ke pulau tersebut selalu meningkat. Pada tahun 2003 terdapat 1.503 orang dan pada tahun 2004 telah naik menjadi 1.597 orang wisatawan, yang datang ke pulau tersebut dengan mengggunakan kapal dari pulau Ullengdo.[6]

Kemudian, selain menyimpan daya tarik akan kekayaan alamnya, pulau Dokdo juga menyimpan kekayaan Gas Buminya.[7] Jepang dan Korea seperti yang kita ketahui merupakan dua negara kaya yang terkenal akan industri dan teknologinya. Dalam prosesnya tersebut, kedua negara ini pasti membutukan sumber daya energi tentunya, disinilah letak berharganya negara pulau Dokdo yang ingin dipertahankan kedua negara untuk dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negaranya.

Disisi lain kisruh pulau Dokdo ini juga mengungkapkan kekuatan dari identitas nasional warga kedua negara tersebut. Menurut Benedict Anderson kita hidup dalam masyarakat khayalan. Dimana dalam membangun sebuah bangsa, unit-unit sejarah dan identitas nasional membangun populasi sebagai entitas otonom dan terpisah dari esensi tertentu. Esensinya diartikulasikan secara jelas seperti ‘sejarah,’ ‘budaya’, dan ‘tanah air’ yang membantu kita membangun identitas kolektif dan terpisah dari dari populasi yang lain.

Korea Selatan dijajah (1910-1945) oleh Jepang, sebuah fakta yang masih mendefinisikan identitas Korea.[8] Sehingga atas dasar memori histroris atas aneksasi Jepang dahulu, membangkitkan nasionalisme rakyat Korea Selatan yang tidak ingin kedaulatannya diganggu (lagi) oleh Jepang. Sedangkan bagi Jepang, mempertahankan pulau Dokdo adalah bagaikan mempertahankan legalitas sejarah turun-temurun Jepang yang tidak ingin direbut begitu saja.

Sejak tahun 1954, ada banyak negosiasi diplomatik dan upaya dari Jepang untuk membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional, akan tetapi semua upaya dan negosiasi telah gagal dan hanya meningkatkan ketegangan antara kedua negara. Ketegangan kedua negara kembali memanas ketika sejarah pulau dokdo dicantumkan dalam buku teks pelajaran di Jepang. Pada Juli 2012, Jepang mengajukan protes diplomatik resmi dengan Korea Selatan setelah seorang pria menabrak truk ke gerbang kedutaan besarnya di Seoul untuk memprotes klaim Jepang atas pulau tersebut.[9]

Pada 10 Agustus 2012, Presiden Korea Selatan, Lee Myung-Bak, mengunjungi Pulau Dokdo / Takeshima, membuatnya menjadi presiden pertama yang pernah melakukannya, dan kembali membesarkan tensi antar kedua negara negara. Setelah itu rentetan kejadian sengketa pulau ini, presiden kedua negara lalu menunda pertemuan tahunan antara menteri keuangan mereka. Selain itu, Jepang juga segera merespon dengan memanggil pulang duta besarnya dari Korea Selatan, Jepang juga telah memanggil duta besar Korea Selatan untuk Tokyo.[10] Pada Agustus 2012, Jepang sekali lagi menyarankan untuk membawa sengketa wilayah ke Mahkamah Internasional namun Korea Selatan kembali menolak usulan tersebut. Pihak Korea Selatan bersikukuh,  pulau Dokdo berada di dalam wilayah Korea Selatan berdasarkan fakta historis, geografis, dan hukum internasional. Klaim yang diajukan Tokyo tetap tidak dapat dibenarkan. Jepang sendiri menginginkan agar Korea Selatan untuk dapat menunjukkan etika baik dan membawa kasus ini ke ICJ untuk diselesaikan.[11]

Bahkan Korea Selatan menyatakan siap mengambil resiko putus hubungan dengan Jepang terkait dengan persengketaan ini, Korea Selatan juga akan tetap bersikeras untuk mempertahankan kedaulatannya di wilayah gugusan karang tersebut.[12] Awal 2013, pihak Jepang kemudian mengirimkan surat dan utusan khusus untuk menemui Presiden Korea Selatan terpilih dalam upaya meredakan ketegangan terkait sengketa pulau. Akan tetapi hal ini belum melahirkan hasil yang kongkrit mengingat tekanan dari dalam negeri Korea maupun Jepang (protes yang datang dari anti-Korea maupun anti-Jepang) terus terjadi.[13]

Berdasarkan teori Realisme, sebuah negara akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kepentingan nasional walaupun dengan cara harus berkonflik. Kecendrungan ini juga dapat tergambar jelas pada sengketa pulau Dokdo, dimana kedua negara terus mengupayakan berbagai cara untuk mempertahankan Pulau Dokdo sebagai kepentingan nasionalnya dengan berbagai cara, dengan jalan Damai dimana melalui prosedur mediasi (orang ketiga), maupun dengan jalan harus berkonflik, misal dengan harus memutuskan hubungan diplomatik.

Tekad dari Korea Selatan maupun protes yang terus berdatangan dari internal kedua negara, menggambarkan bagaimana nasionalisme dan identitas masyarakat turut memainkan faktor dalam ‘awet’nya konflik ini. Bagaimanapun, dengan adanya sentimen nasionalis, identitas, dan warisan sejarah penjajahan, hal ini akan cukup menyulitkan bagi upaya penyelesaian masalah kedua negara. Melakukan konsesi dengan Jepang-pun akan membahayakan bagi pembuat kebijakan di Korea. Mengingat isu nasionalisme sangat kuat disana. Begitupun dengan Jepang. Memanasnya kembali sengketa kedaulatan mereka menggema bersama dengan munculnya kelompok nasionalis. Salah satu hal yang membuat hubungan kedua negara ini tetap bertahan menurut penulis adalah interdepedensi dalam bidang ekonomi dan politik (misalnya dalam menyatukan pandangan mengenai bagaimana menyikapi ancaman Nuklir Korea Utara) yang membuat kerjasama-kerjasama diantaranya masih tetap terjalin. Untuk prospek penyelesaian sengketa, hal ini sangat tergantung pada bagaimana proses berkelanjutan perdamaian bilateral antara negara tetap berjalan dengan dasar.[14]

 


 

Daftar Pustaka

Jouhki. Jukka. “Dokdo Island Dispute: Korean Reconstruction of History and National Identity in User-Created Content Media”.

Dokdo Research and Preservation Association & Dokdo Institute. “A Story of Dokdo Island, A Korean Territory”. 1996.

Emme. Ralf. “Japan-Korean Reations and The Tokdo/Takeshima Dispute: Interplay of Nationalism and Natural Resources”. S. Rajaratnam School of International School: Singapore, 2010.

http://my-munofs-iv.wikispaces.com/file/view/Dokdo+Takeshima+Islands+Dispute+(Japan+-+S.Korea).pdf diakses pada 10/04/2013 pkl 20.22

http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-19207086 diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 20.38

http://www.dailymail.co.uk/news/article-2186738/South-Korean-leader-stirs-diplomatic-tensions-visiting-disputed-islands-claimed-Japan.html

http://international.okezone.com/read/2012/08/31/413/683117/korsel-tak-ingin-isu-sengketa-libatkan-dunia-internasional diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.02

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4967&coid=1&caid=24&gid=2 diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.24

http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/02/23/asia-timur-sedang-memanas-jepang-klaim-pulau-dokda-milik-korea-536418.html diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.29

“Upaya Diplomatik Korea-Selatan Jepang Terhadap Penyelesaian Sengketa Pulau Dokdo” FISIP UNPAS: 2010. Dapat diakses di http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/11/jbptunpaspp-gdl-egiesagita-514-1-skripsi-i.pdf

[1] Jukka Jouhki, “Dokdo Island Dispute: Korean Reconstruction of History and National Identity in User-Created Content Media”. Hal 1

[2]Yang Seung Yoon & Nur Aini Setiawati.“Sejarah Korea Sejak awal abad hingga masa kontemporer”Hal 137. Cited in Egie Sagita. “Upaya Diplomatik Korea-Selatan Jepang Terhadap Penyelesaian Sengketa Pulau Dokdo”

FISIP UNPAS: 2010. Dapat diakses di http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/11/jbptunpaspp-gdl-egiesagita-514-1-skripsi-i.pdf

[3]http://my-munofs-iv.wikispaces.com/file/view/Dokdo+Takeshima+Islands+Dispute+(Japan+-+S.Korea).pdf diakses pada 10/04/2013 pkl 20.22

[4]Dokdo Research and Preservation Association & Dokdo Institute. “A Story of Dokdo Island, A Korean Territory”. 1996. Hal 3-4.

[5]Ibid. Hal 13.

[6] Dwi Arjanto, “Berebut Si Sunyi”, Koran Tempo, 21 April 2006, hal A22. Cited in Egie Sagita. “Upaya Diplomatik Korea-Selatan Jepang Terhadap Penyelesaian Sengketa Pulau Dokdo”

FISIP UNPAS: 2010. Dapat diakses di http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/11/jbptunpaspp-gdl-egiesagita-514-1-skripsi-i.pdf

[7]http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-19207086 diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 20.38

[8]Dokdo Research and Preservation Association & Dokdo Institute. “A Story of Dokdo Island, A Korean Territory”. 1996. Hal 3-4.

[9]http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-19207086 diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 21.41

[10]http://www.dailymail.co.uk/news/article-2186738/South-Korean-leader-stirs-diplomatic-tensions-visiting-disputed-islands-claimed-Japan.html

[11]http://international.okezone.com/read/2012/08/31/413/683117/korsel-tak-ingin-isu-sengketa-libatkan-dunia-internasional diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.02

[12]http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4967&coid=1&caid=24&gid=2 diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.24

[13]http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/02/23/asia-timur-sedang-memanas-jepang-klaim-pulau-dokda-milik-korea-536418.html diakses pada tanggal 10/04/2013 pkl 22.29

[14]Ralf Emme, “Japan-Korean Reations and The Tokdo/Takeshima Dispute: Interplay of Nationalism and Natural Resources”. S. Rajaratnam School of International School: Singapore, 2010. Hal 24

Leave a comment